8/13/2017

Para Pembabat Gili Iyang

Para Pembabat Gili Iyang
Para Pembabat Gili Iyang
Tahukah anda, siapa yang telah berjasa membuka hutan belantara di pulau sere Elang itu. Siapa ya...emmm penasaran! Kali ini redaksi pitutur telah membuat ramuan khusus untuk mengobati rasa penasaran sahabat pitutur semua. Emmmm kira-kira ramuan apa ya yang akan diberikan! Hayo tebak!!

Ramuannya bukan yang pahit kayak jamu itu sahabat, melainkan ramuan ilmu dan informasi yang diperoleh dari sesepuh kita hehehehe. Kali ini sahabat pitutur akan dikenalkan dengan sosok inspiratif yang telah berjasa membabat hutan belantara Gili Iyang. 

Mereka itu adalah Daeng Kareng Masalle, Jhu’ sanga’, dan Jhu’ Tarona (Andang Taruna) sahabat. Sudah kenal belum am tiga tokoh diatas? Dilihat dari namanya, nama jhu’ sanga’ mengingatkan kita para sembilan wali alias wali Songo penyebar agama Islam di Tanah Jawa. Konon katanya, Jhu’ sanga’ datang dari darah barat (mungkin dari Sumenep) sembari menaiki sebatang kayu besar. Ia membawa gentong (Madura: Ghentong), pelteng, lenggis (Madura: Rajheng), dekko semacam Lesung.

Dengan alat taradisional tersebut, Jhu’ Sanga’ membabat hutan belantara Gili Iyang yang masih sangat sepi, tak berpenghuni. Dari pembabatan yang digagas oleh jhu’ sanga’ itu sahabat, terbentuklah satu pemukiman kecil di Gili Iyang dan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman hingga sekarang.

Jhu’ sanga’ wafat di Gili Iyang dengan tahun dan tanggal yang tidak jelas alias tidak ada yang tahu sahabat. Makam Jhu’ Sanga’ sekarang ada di pesisir pantai desa Banra’as tepatnya di dusun ra’as sebelah utara pelabuhan.
 
Tokoh kedua yaitu Ju’ Tarona (Andang Taruna). Kalau sahabat pitutur pernah jalan-jalan di daerah tengah (Buchel) Gili Iyang disitulah sahabat pitutur akan melihat makam besar. Masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Astana Jhu; Tarona alias Andang Taruna sahabat. Emmm..dari mana ya asal Jhu’ Tarona itu, kok bisa nyampek Gili, gimana ceritanya?.

Menurut cerita tutur, Jhu’ Sanga’ itu berasal dari pulau Binongko (sekarang masuk wilayah kebupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara) sahabat. Wahh jauh bangett. Semenjak berada di tanah kelahirannya (baca : pulau Binongko) Ju’ Tarona sering berfikir untuk bisa sampai ke pulau yang menempati posisi sejajar dengan garis katulistiwa (Madura: malang Eare). Beliau ingin mencari pulau yang belum dihuni manusia. Konon katanya, Jhu’ Tarona menyebut Gili itu sebagai pulau keramat/berkah persis seperti yang dikatakan suku Mandar, Sulawesi Selatan.
Setelah melalui proses perjuangan yang cukup terjal dan berliku, akhirnya cita-cita yang ia bangun untuk bisa sampai kesebuah tempat yang menjadi berbincangan para pengembara waktu itu bisa tercapai. Menurut sumber cerita tutur, Ju’ Tarona datang ke Gili Iyang bersama  dua orang lainnya, yang satu adalah mendiang istrinya  dan satu lagi sosok yang  tak dikenal.

Selang beberapa waktu kemudian, adiknya Jejhep Prana menyusul, para pengikut serta kerabatnya dari pulau Binongko juga ikut serta dalam perjuangan tersebut. Dan muridnyapun tidak mau ketinggal, ia ikut andil dalam menyelesaikan misi mulya itu (baca: membabat Gili Iyang). Misi Ju’ Tarona dalam membabat Gili Iyang tidak sampai selesai. Kerena tiga tahun setelah proses pembabatan berjalan, Jhu’ Taronapun akhirnya wafat.
 
 
Dan yang terakhir adalah Daeng Kraeng Masalle atawa yang lebih akrap disapa to’ Daeng. Dari ketiga tokoh pembabat Gili Iyang Kraeng Masalle termasuk tokoh yang paling fenomenal di tengah-tengah masyarakat Gili Iyang. Karena selain cerita prihal hidupnya yang mashur itu, dta-data untuk mengungkap jati dirinya ternyata cukup banyak sahabat. Dari silisilah nasab yang tercatat dalam Lontara Goa disebutkan bahwa Karaeng Masalle memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat dekat dengan keluarga kerajaan Goa-Tallo. Ibundanya, I Bisu Malibba  Karaeng Papelleng, adalah kakak dari Sultan Alauddin. Ia termasuk putri ketiga dari Karaeng Bonto Langkasa i Maggorai Daeng Mammeta Tunijallo Raja Goa ke XII 1565-1590 M, bersama dengan salah seorang istrinya, raja Tallo V Karaeng Bainiya I Sabo Daeng Niassing. Berdasarkan sumber ini (baca: Lontara) Karaeng Masalle masih termasuk keponakan dari Sultan Alauddin. Selain itu, Karaeng Masalle juga mempunyai adik perempuan bernama I Tama Lili. Adiknya yang satu ini kelak menjadi salah satu tokoh perempuan berpengaruh di Sulawesi Selatan. Demikian menurut catatan yang termaktub dalam lontara Goa Tallo ni Parallaka ri Balanda 1883 M.

Latar belakang kehijrahan Karaeng Masalle ke Gili Iyang, diawali oleh adanya sebuah tugas mulya dari ke dua orang tuanya, untuk mengemban dakwah Islam ke bumi seberang sembari mencari sebuah pulau yang posisinya sejajar dengan garis katulistiwa (Madura: malang eare). Titah mulya itupun ia laksanakan sepenuh hati, seraya penuh harap semuga apa yang ia jalani menjadi sarana untuk menggapai ridha Ilahi.

Menurut tradisi lisan masyarakat Gili Iyang, Karaeng Masalle dua kali datang ke Gili Iyang. Kedatangannya yang pertama dalam rangka survei tempat, sedangkan yang kedua kalinya bertujuan untuk berdomisili bersama keluarganya di Gili Iyang.
 
 
Dalam proses pembabatan Gili Iyang Karaeng Masalle mendapat dukungan penuh dari Adipati Sumenep. Bahkan Adipati Sumenep kala itu mengirimkan beberapa utusan guna membantu menyukseskan pembabatan Gili Iyang. Berkat perjuangan dan kesungguhannya itu, misi pembabatan Gili Iyang berjalan sukses yang pada akhirnya beliaupun diangkat menjadi penasehat di Kadipaten Sumenep. Daeng Kraeng Masalle wafat di Gili Iyang pada tahun 1211 H/1796 M. Makamnya sekarang ada di desa bancamara, tepatnya sebelah timur SDN Bancamara I.

Aalhasil, ketiga tokoh diatas adalah sosok yang gigih berjuang tanpa kenal lelah dan letih tanpa pamrih. Mereka telah meninggalkan sejuta kenangan pahit dan panis dalam derap perjuangan yang mereka lakoni. Kisah tentang kegigihan, kesabaran, dan keteguhan mereka dalam berjuang menjadi satu pelajaran penting untuk kita petik hikmahnya sebagai bekal perjuangan masa depan nanti.

Previous Post
Next Post

0 Comments: